”Saya rasa perlu juga disiapkan Tempat Evakuasi Sementara (TES) ataupun Tempat Evakuasi Akhir (TEA) sebagai tempat penampungan khusus bagi warga yang mengungsi dengan ketersediaan stok atau cadangan logistik yang memadai,” kata dia.
Tidak hanya itu, hal yang paling penting menurutnya adalah mengedukasi masyarakat mengenai potensi bencana dan cara menghadapinya. Khususnya masyarakat di wilayah pesisir pantai.
Baca Juga: Nyawa Rakyat Indonesia Jadi Taruhan, Bencana Alam Tidak Bisa Dihindari, BMKG Lakukan Langkah Ini
Masyarakat yang berada di zona bahaya itu, kata dia, perlu berlatih rutin untuk melakukan langkah evakuasi mandiri bila mendapatkan peringatan dini tsunami maksimum 5 menit setelah terjadi gempa bumi.
Dengan begitu, Dwikorita Karnawati mengatakan bukan tidak mungkin dengan kesiapan tersebut jumlah korban jiwa maupun kerugian materi dapat diminimalisir akibat bencana tersebut.
”Kesiapan ini sangat penting guna menghindari dan mengurangi risiko bencana gempa bumi dan tsunami yang mengintai pesisir selatan jawa, khususnya Pacitan, akibat pergerakan lempeng tektonik Indo-Australia dan Eurasia,” ujarnya.
Baca Juga: Fenomena Udara Dingin Malam Hari di Pulau Jawa, Menurut BMKG Ternyata Ini Penyebabnya
Meski demikian, dia mengatakan namanya skenario masih bersifat potensi yang bisa saja terjadi atau bahkan tidak terjadi. Namun, masyarakat dan pemerintah menurutnya sudah seharusnya siap dengan skenario terburuk tersebut.
Dwikorita Karnawati mengatakan hingga saat ini belum ada teknologi atau satupun negara di dunia yang bisa memprediksi kapan terjadinya gempa bumi dan tsunami secara tepat dan akurat, lengkap dengan perkiraan tanggal, jam, lokasi hingga magnitudo gempa.
Semua skenario terburuk gempa dan tsunami itu menurutnya masih sebatas kajian dengan berdasarkan pada beberapa hal yang salah satunya adalah sejarah kegempaan di wilayah tersebut.