Mendikbudristek Sebut Perguruan Tinggi di Indonesia Darurat Pandemi Kekerasan Seksual

13 November 2021, 11:30 WIB
Mendikbudristek Nadiem Makarim menyebutkan perguruan tinggi di Indonesia sedang berada dalam situasi darurat pandemi kekerasan seksual. /dok. Kemendikbudristek

LINGKAR MADURA – Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim menyebutkan perguruan tinggi di Indonesia sedang berada dalam situasi darurat pandemi kekerasan seksual.

Dia mengungkapkan sebagaimana merujuk data Komnas Perempuan bahwa dari sejumlah aduan kekerasan seksual di dunia pendidikan, sebanyak 27 persen terjadi di perguruan tinggi.

Sedangkan berdasarkan survei Kemendikbudristek, dia menyampaikan sebanyak 77 persen dosen menyebutkan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus.

Baca Juga: Presiden Jokowi Ingatkan Rektor Ada yang Mendidik Mahasiswa Jadi Radikal

Kemudian, dalam survei itu pula, dia mengatakan sebanyak 63 persen dosen tidak melaporkan kasus kekerasan seksual yang diketahuinya pada pihak kampus.

”Bisa dibilang situasi gawat, kita bukan hanya mengalami pandemi COVID-19, tetapi juga pandemi kekerasan seksual,” ujarnya saat peluncuran “Merdeka Belajar Episode 14: Kampus Merdeka dari Kekerasan Seksual” dilansir Lingkar Madura dari Antara, Jumat, 12 November 2021.

Nadiem Makarim menambahkan kasus kekerasan seksual saat ini sedang berada pada fenomena gunung es. Jika digaruk sedikit, dia mengatakan fenomena kekerasan seksual terjadi di semua kampus.

Baca Juga: Presiden Jokowi Minta Perguruan Tinggi Tidak Pagari Mahasiswa dengan Program Studi Fakultas

Oleh karena itu, dia menyebutkan Pemerintah perlu mengambil langkah tegas untuk melindungi dosen dan mahasiswa maupun tenaga kependidikan dari kekerasan seksual tersebut.

”Kekerasan seksual paling sulit dibuktikan, tetapi efeknya sangat besar dan berjangka panjang pada korban. Makanya, Pemerintah perlu mengambil langkah,” ujarnya.

Mendikbudristek lantas mencontohkan bagaimana seorang mahasiswa yang mengalami kekerasan seksual di kampus, mencoba melaporkannya, tetapi tidak ditanggapi, depresi dan akhirnya meninggalkan kampus.

Baca Juga: Nadiem Makarim Bantah Legalkan Seks Bebas dan Perzinahan di Lingkungan Kampus

Jika demikian, Mendikbudristek menyampaikan tidak mungkin kampus dapat menyediakan pembelajaran yang berkualitas. Sebab, dosen, mahasiswa maupun tenaga kependidikan tidak merasa aman dan nyaman.

”Dampak dari satu kejadian bisa dirasakan seumur hidup karena berdampak psikologis seumur hidup,” ungkapnya.

Sebenarnya, Nadiem Makarim menyebutkan Pemerintah sudah memiliki beberapa Undang-undang (UU) terkait hal tersebut, namun memiliki kekosongan pada perguruan tinggi.

Baca Juga: Mendikbudristek Tegaskan Syarat 60 Peserta Didik untuk Penyaluran BOS Tidak Berlaku di 2022

Dia mencontohkan seperti UU anak, tapi hanya di bawah 18 tahun. Kemudian, ada UU PKDRT, tapi hanya dalam lingkup rumah tangga dan UU TPPO yang hanya menjerat sindikat perdagangan manusia.

”Jadi, ada kekosongan karena yang belum terlindungi usia di atas 18 tahun, belum atau tidak menikah, dan tidak terjebak sindikat perdagangan manusia,” terang dia.

Untuk itu, dia menegaskan perlu adanya aturan yang spesifik dan khusus dalam melindungi warga kampus. Sebab, KUHP yang ada saat ini menurutnya memiliki keterbatasan dalam penanganan kasus kekerasan seksual.

Baca Juga: Catat! Ini Syarat dan Cara Membuat KIP Sebagai Syarat Dapat Bantuan PIP Kemendikbudristek dan BLT Kemensos

Keterbatasan itu, kata dia, tidak dapat memfasilitasi identitas korban yang tidak diatur peraturan lain, tidak mengenali kekerasan berbasis gender online (KGBO) dan hanya mengenali bentuk perkosaan dan pencabulan.

Padahal civitas akademika dan tenaga kependidikan menurutnya sangat rentan mengalami KBGO. Sebab, dalam rentang usia tersebut merupakan pengguna aktif media sosial (medsos) serta perkuliahan saat pandemi COVID-19 banyak dilakukan secara daring.***

Editor: Moh Badar Risqullah

Sumber: Antara

Tags

Terkini

Terpopuler