Anggota TNI AU Injak Kepala Penyandang Tuli di Papua, Surya Sahetapy: Cermin Pendidikan Indonesia Darurat

- 28 Juli 2021, 13:56 WIB
Aktivis Tuli, Surya Sahetapy
Aktivis Tuli, Surya Sahetapy /Instagram/suryasahetapy

LINGKAR MADURA – Aktivis Tuli, Surya Sahetapy turut menanggapi ramainya peristiwa anggota Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) yang menginjak kepala seorang warga penyandang tuli di Merauke, Papua.

Dia menyebutkan tindakan yang dilakukan oleh anggota TNI AU tersebut tidak dapat dibenarkan. Sekalipun, apa yang dilakukan oleh seorang warga penyandang tuli tersebut salah dan merugikan orang lain.

”Tidak bisa diterima. Menangkapnya tidak manusiawi. Kepala diinjak? Borgolnya buat apa?” kata Surya Sahetapy melalui akun Instagram-nya dikonfirmasi Lingkar Madura pada Rabu, 28 Juli 2021.

Baca Juga: Viral Anggota TNI AU Injak Kepala Penyandang Disabilitas di Papua, Danlanud Merauke Minta Maaf

Lebih lanjut, dia menyebutkan peristiwa tersebut mencerminkan bahwa pendidikan militer di Indonesia sedang darurat yaitu tidak ada pembelajaran tentang bagaimana berinteraksi dengan rakyat tuli dan disabilitas.

Padahal, Surya Sahetapy menerangkan pembelajaran berinteraksi dengan rakyat tuli dan disabilitas seharusnya dimulai dari pendidikan usia dini.

”Ini mencerminkan pendidikan militer sedang darurat yaitu tidak ada materi/pelajaran/mata kuliah tentang bagaimana berinteraksi dengan rakyat tuli dan disabilitas,” terangnya.

Baca Juga: KSP Kecam Anggota TNI AU Injak Kepala Warga Penyandang Disabilitas di Papua, Moeldoko: Jangan Terulang

Untuk itu dia mengajak semua pihak yang punya sekolah, universitas dan lembaga pendidikan, agar segera menerima pengajar tuli dan disabilitas.

Hal itu menurutnya demi melahirkan pelayan rakyat seperti tentara, polisi, aparat hukum atau perawat yang dapat memahami orang berbeda seperti kelompok disabilitas, minoritas serta kelompok-kelompok lainnya.

”Jadi, kita harus kenalkan anak-anak dan adik-adik kita untuk berteman dengan disabilitas supaya mereka semakin peka dan mewujudkan Indonesia ramah disabilitas,” harapnya.

Baca Juga: Presiden Jokowi Dorong Lembaga Pendidikan Tinggi Berinovasi Bantu Tangani Pandemi Covid-19

Disisi lain, Surya Sahetapy tetap mengapresiasi langkah cepat pihak terkait dalam menindak dua anggota TNI AU tersebut. Disebutkan keduanya telah ditahan di Polisi Militer (PM) guna proses hukum lebih lanjut.

Akan tetapi, dia mengatakan ada hal yang lebih penting dan harus segera dilakukan yaitu perbaikan kurikulum pendidikan di Indonesia agar dapat menciptakan manusia yang memanusiakan sesamanya.

”Kasus hukum tetap berjalan, tetapi perlu ada perbaikan kurikulum pendidikan agar menciptakan manusia yang memanusiakan sesamanya,” jelasnya.

Baca Juga: Presiden Jokowi Harapkan Lulusan Kampus di Indonesia Memiliki 5 Kompetensi Ideal Ini, Apa Saja?

Terlepas dari itu, Surya Sahetapy juga menerangkan secara rinci soal adanya perspektif lain yaitu warga penyandang disabilitas itu salah karena melakukan hal yang merugikan.

Dia menjelaskan terkait hal tersebut tidak bisa menjadi pembenaran dan landasan bahwa setiap orang, apalagi aparat penegak hukum, bisa melakukan kekerasan terhadap kelompok disabilitas atau minoritas.

”Ingat pendidikan untuk disabilitas masih belum ramah di Indonesia, apalagi Indonesia timur,” ungkap pria yang juga salah satu pengurus Organisasi Gerakan Untuk Kesejahteraan Tuli Indonesia (Gerkatin).

Baca Juga: Respon Kondisi Pandemi Covid-19, GUSDURian Peduli Bentuk Gerakan Bersama Bantu Masyarakat Terdampak

Dia mencontohkan salah satu kasus pada tahun 2013. Dia menyebutkan ada seorang pemuda tuli yang masih pelajar SMP (Sekolah Menengah Pertama) yang bangga membunuh 2-3 orang yang mem-bully dirinya.

Tindakan pemuda tuli itu tentu menurut Surya salah dan tidak dapat diterima. Bahkan, dia mengungkapkan pemuda tuli tersebut sudah diproses hukum dan dipenjara.

”Jadi, dia salah? Tentu saja tindakannya tidak diterima. Dia (pemuda tuli) pun sudah dipenjara. Namun, bebas karena masih di bawah umur,” ujarnya.

Baca Juga: Evaluasi PPKM Darurat, Presiden Minta Aparat Tidak Kasar ke Masyarakat

Akan tetapi, berkaca pada peristiwa itu, Surya mengatakan orang yang membully tersebut tentunya juga tidak dapat dibenarkan. Karena, berawal dari bully itulah yang membuat pemuda tuli itu nekat melakukan pembunuhan.

Sedangkan terjadinya tindakan bully itu sendiri, kata Surya, karena tidak adanya pembelajaran kepada anak-anak sejak dini untuk menghargai kelompok disabilitas atau minoritas. Baik di lingkungan keluarga maupun lembaga pendidikan.

”Jadi jangan salahkan orang, tapi salahkan sistem pendidikan kita. Sudah waktunya kita rombak. Jadi akar permasalahan itu dimulai dari keluarga dan pendidikan,” tuturnya.

Baca Juga: Lantik 700 Perwira TNI-Polri, Jokowi Minta Gesekan Dua Institusi Negara Ini Dihentikan

Sementara itu, sebagaimana dalam tulisan akhir Surya Sahetapy di akun Instagram-nya juga, dia mengajak masyarakat untuk menghargai penyandang tuli dengan hal kecil yaitu menghindari kata bisu atau mute saat berkomunikasi.

Dia menyebutkan kata bisu atau mute tersebut merupakan kata kasar atau offensive sejak 18th-19th century. Sehingga, Surya menyebutkan untuk lebih pantasnya menggunakan kata Tuli atau HoH.

”Jika, orang tidak memiliki bahasa maka disebut orang “language deprived” atau orang yang deprivasi bahasa yaitu tidak dapat menulis, membaca, berbahasa isyarat serta bentuk komunikasi lainnya,” tandasnya.***

Editor: Moh Badar Risqullah


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x